Sejarah Desa Muntai

Oleh: Administrator


SEKILAS SEJARAH MUNTAI

Muntai terletak di bagian Timur Pulau Bengkalis merupakan sebuah desa  atau kampong yang aman dan permai, berhadapan dengan Selat Malaka. Pulau Bengkalis termasuk dalam daerah Provinsi Riau. Pulau Bengkalis secara keseluruhan lebih dikenal orang dengan Tanjung Jati. Begitu juga dengan Desa Muntai, Jika dilihat dalam peta Indonesia nama Tanjung Parit lebih dikenal orang dari pada nama Muntai itu sendiri.

Ditinjau dari sudut geografi maka tanjung Jati yang terletak di Ujung Pulau Bengkalis dan Tanjung Parit Muntai yang terletak di pangkal Pulau Bengkalis merupakan kawasan yang paling strategis sebagai tempat persinggahan para pelaut dan pengembara pada masa silam. Disamping itu kedua kawasan ini berhadapan dengan Selat Malaka atau semenanjung Malaysia. Sehingga tidak heranlah suatu ketika dulu antara penduduk Muntai atau Bengkalis secara keseluruhan, Siak dan Bantan dengan Penduduk Johor, Malaka dan Pahang saling berkunjung dan bahkan  menetap membuat perkampungan dalam kawasan-kawasan ini.

Menurut keterangan sebaagian masyarakat yang menyimpan sejarah Riau dan orang yang hidup pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang, Muntai merupakan tempat laluan dan simpanan senjata untuk kegunaan pahlawan Indonesia yang dimasukkan dari Singapura. Ini menunjukkan bahwa Muntai menyimpan 1001 misteri kenangan silam yang tidak ramai diketahui orang.

Prasasti

Di daerah Tanjung Parit Muntai didapat dua buah tugu, masing-masing peninggalan Belanda dan Jepang. Kehadiran dua tugu ini tidak ramai diketahui oleh penduduk, baru setelah mendaratnya helikopter di Tanjung Parit awal tahun Tujuh Puluhan (1971) penduduk Muntai mengetahui ada tugu atau prasasti yang ditanam di Tanjung Parit. Satu lagi perkara misteri yang menjadi tanda tanya bagi penduduk yang masih belum terjawab sampai saat ini.

Setengah orang mengatakan bahwa di Muntai suatu ketika dulu merupakan tempat tinggal dan persinggahan orang asli. Jika di Jambi kita temui Prasasti Talang Tuo, maka di Muntai tempat terletaknya Prasasti Talang Mamak, Talang Mamak merupakan salah satu suku orang asli yang ada di Daerah Riau ini. Kebenaran tentang wujudnya prasasti yang mengalami erosi menyebabkan prasasti dan tugu-tugu yang disebutkan tadi telah hanyut ke laut.

 

 

Dari adanya tugu-tugu di atas tadi membuktikan bahwa Muntai merupakan tempat yang memiliki potensi besar serta memiliki khazana yang masih tersembunyi. Bahkan Haji Ibrahi Bin Haji Abu Bakar ( Wafat 1969) pernah mengatakan “Bahwa Muntai pada masa akan datang akan menjadi Mutiara.

Kedatangan Pembesar dari Malaka

Muntai merupakan Bandar dari Bengkalis, dimana pada zaman dahulu terdapat sebuah pelabuhan di daerah Muntai tepatnya di antara Tanjung Parit dengan Kuala Muntai yang cukup banyak disinggahi pedagang asing seperti dari Malaka dan lain sebagainya. Ketika itu datanglah ayah dari Encik Mas sekaligus pembesar dari Malaka yang namanya belum diketahui bahkan sejumlah sejarahwan tidak dapat mengungkap siapa nama dari ayah Encik Mas tersebut sampai sekarang.

Setelah pembesar tersebut menetap di situ beliau sering melihat kedatang pedagang asing di wilayah tersebut untuk mengambil hasil rempah dan lain sebagainya termasuk buah Suntai yang dijadikan minyak. Ia pun memandang bahwa situasi di pelabuhan Muntai ini bukan lagi sebuah kampong biasa tetapi bisa menjadi sebuah Bandar yang harus dipimpin oleh seorang Datuk Bandar.

Sekitar tahun 1616 pada akhirnya ayah dari Encik Mas ini menyampaikan usulannya kepada empat Batin, yaitu Bantin Penebal, Batin Alam, Batin Sunggoro dan Batin Senderak. ketika dia menyampaikan usulannya, keempat batin tersebut memilih siapa yang layak untuk menjadi Datuk Bandar, tetapi dari keempat batin ini tidak satupun yang mengetahui tentang administrasi pemerintahan ataupun administrasi kerajaan dan ayah dari Encik Mas sekaligus pebesar dari malaka ini dipandang mampu mengelola hal-hal yang berkatian dengan pemerintahan akhirnya berdasarkan persetujuan dari keempat batin tersebut maka diangkatlah beliau menjadi Datuk Bandar Muntai.

Kedatangan Melayu Johor

Jauh sebelum kedatangan Orang-orang Melayu Muar Johor ke Muntai seperti Sayam Bin Haji Kasan, Adam Bin Abdullah,Haji Joran bin Haji Kosen (tahun 1924), di pesisir pantai Muntai telah banyak rumah-rumah orang asli yang bekerja sebagai nelayan. Juga telah ditemukan banyak kuburan mereka yang terletak di tepi sungai Muntai (Sebelah perkuburan islam sekarang di tapak rumah Cina Kaiwan)  Kemungkinan Pulau Bengkalis, Khususnya di Muntai telah diduduki manusia bersaman datangnya gelombang pertama rumpun Melayu (Proto Melayu) sekitar 2500-1500 SM dari Benua Asia dan gelombang kedua dari suku Deutro Melayu sekitar tahun 300 m. Namun belum ada usaha untuk menggali Fosil-fosil di daerah ini untuk membenarkan teori ini.

Gelombang kedua kedatangan Melayu Muar Johor setelah Syam bin Haji Kasan beserta kawan-kawanya yaitu Haji Ibrahim bin Haj Abu Bakar Pada tahun 1926. Diikuti oleh Maon, Rahim Bin Maon pada tahun 1927, setelah itu meyusul Haji Mokhtar Jiman, Haji Umar dan lain-lain pada mulanya Haji Ibrahim Bin Abu Bakar Beserta rombongan dari muar ingin pergi ke Puak Dumai, karena dibawa oleh angin dan dihempas gelombang akhirnya ia terdampar dan singgah di Muntai, ketika itu Muntai telah ramai Penghuninya serta serta Tanahnya sangat subur. Melihat kenayataan ini maka Haji Ibrahim mengurungkan  niatnya untuk pergi kepuak, akhirnya menetap di Muntai akhir hayatnya.

Haji Ibrahim bin Haji Abu Bakar mengambil inisiatif untuk tinggal jauh ke darat, tidak seperti kawan-kawan sebelumnya mereka membuat rumah tidak jauh dari tepi pantai dan membuka sawah padi di situ. Haji Ibrahim Membuka Kebun Getah hinga hampir seluruh kebun getah yang ada di Muntai ketika itu miliknya. Baru lah kemudian diikuti oleh teman-teman yang lain untuk menanam pokok getah dan pinang.

Penghasilan masyarakat Muntai.

Ketika kedatangan kelompok Melayu muar Johor ke Muntai, di tempat ini banyak di tumbuhi oleh pokok suntai. Orang melayu yang tinggal di muntai beserta orang asli kebanyakannya sebagai nelayan, barulah setelah orang-orang melayu muar ini datang, buah suntai diolah menjadi minyak suntai untuk dipakai sendiri dan dijual. Setelah itu barulah di Muntai di tanam pohon-pohon karet atau getah, pokok pinang (pada tahun 1933). Sekarang ini penghasilan pokok masyarakat Muntai adalah getah atau karet dan kelapa.

Hubungan Sosial Kemasyarakatan

Antara orang melayu Riau yang memang telah ada di Muntai orang asli dan melayu johor mempunyai hubungan yang baik dan saling hormat menghomati. Tidak ada dalam sejarah menceritakan tentang terjadinya persengketaan diantara mereka, malah kehidupan mereka sangat harmonis.

Pada tahun 1928 atas pemikiran dan inisiatif lebay maun, Haji Ibrahim bin Abu Bakar, biajen beserta kawan-kawannya yang lain, maka di dirikanlah sebuah surau yang bertempat di tepi sungai Muntai (sekarang tanah kuburan). Pendirian surau ini dilaksanakan pada masa penghulu mat bujang. Setelah itu dilantiklah lebay maun sebagai imam pertama di Muntai ini. Baru pada tahun 1948 surau ini dinaikkan tarafnya sebagai masjid.

Rupanya perkembangan agama islam di Muntai sedikit sebanyak mempengaruhi orang-orang asli pada zaman penghulu kamsar, seorang wanita asli bernama encah memeluk agama islam, kemudian diberi nama khadijah. Setelah itu diikuti oleh uli juga seorang wanita. Jelaslah bahwa hubungan diantara tiga suku yang ada di Muntai pada masa silam sangat baik. Namun begitu karena masyarakat orang asli kebanyakannya amat sukar menerima perubahan dan kemajuan. Sehingga mereka merasa terdesak dan pindah ke Sukajadi setelah itu ke Sungai Raya Teluk Pambang.

Orang asli selain yang telah menetap di Muntai ini juga ramai yang datang setelah itu seperti tok Batin Senderak yang datang dari Sebauk. Gonyeh yang datang dari Selat Morong di pulau Rupat. Ramai lagi yang memang telah berdomisili di Muntai seperti Nontel, Dogok, Dol, Todak, Rendang, Jidan dan lain-lain.

Pemerintah di Kampong Muntai

Pelaksanaan kepemimpinan di Muntai ini dengan dipegang oleh seorang penghulu diperkirakan tahun 1885. Penghulu pertama, kedua dan ketiga merupakan orang melayu yang telah menetap di Muntai. Sedangkan penghulu keempat, kelima hingga sekarang dipegang oleh melayu berketurunan dari Muar Johor.

1. Penghulu Kampung :

Penghulu pertama, Abu memerintah lebih kurang dari 1885 – 1910

Penghulu kedua, Din bin Abu dari 1910 – 1930

Penghulu ketiga, Mat Bujang dari tahun 1930 – 1938

Penghulu keempat, Kamsar dari tahun 1938 – 1959

Penghulu kelima, Nasroen bin haji Umar dari tahun 1959 – 1984

 

2. Kepala Desa:

Kepala Desa Pertama, Nasroen bin haji Umar dari tahun 1984 – 1989 (meninggal 1992)

Kepala Desa Kedua, Sabari bin haji Mokkhtar Jiman dari tahun 1990 - 2005

Kepala Desa Ketiga, Naim bin Hasan dari Tahun 2005-2006

Kepala Desa Keempat, Junaidi bin Zakaria dari Tahun 2006 - 2017

Kepala Desa Kelima, Muhammad Nurin bin H. Katmin dari Tahun 2019 - Sekarang

 

Asal Usul Nama Muntai

Pendapat pertama mengatakan bahwa nama “Muntai” diambil dari kata suntai yang merupakan pokok kayu yang banyak tumbuh ketika itu di Muntai. Pokok Suntai ini mempunyai buah yang enak dimakan dan juga dapat diolah untuk dijadikan minyak Suntai. Menurut keterangan dari Rahim bin Maon yang datang ke Muntai pada tahun 1927, ketika mereka sampai di Muntai saat itu daerah ini memang telah bernama Muntai. Sedangkan pengelolaan buah Suntai ini untuk dijadikan minyak secara maksimum baru pada tahun 1929/1930.

Teori kedua mengatakan bahwa nama Muntai ini diambil dari nama salah seorang Tok Batin orang Asli yang bernama “muntai”. kebiasaan orang–orang melayu dan orang-orang dahulu apabila seseorang tokoh duduk pada suatu tempat, maka daerah tersebut diambil dari nama tokoh tersebut.

Teori ketiga mengatakan bahwa pada masa dahulu di Muntai ini terkenal sebagai pusat bidan beranak melayu, yang ketika itu dipegang oleh seorang wanita bernama maimun, karena kepandaian dan kepakarannya dibidang kebidanan ini ia menjadi terkenal. Sehingga orang dari pelosok Bengkalis bahkan dari kerajaan siak berdatangan ke Muntai. Bidan Maimun ini lebih dikenal orang dengan pangilan bidan Mun. kemudian bidan Mun ini berkawin dengan orang asli yang bernama tok Batin Atai. Karena terlalu ramai orang pergi di daerah ini diantara mereka ada yang bertanya: “Engkau mau Kemana?” setengahnya menjawab: “aku ingin pergi ketempat bidan mun”, mereka bertanya lagi: “ mun mana?” yang ingin pergi menemui bidan tersebut menjawab: “mun istri si atai”.  Begitu lah seterusnya, sehingga mereka hanya mengatakan ingin ketempat “Mun atai”. Disebabkan ingin menguruskan kelahiran anak mereka, sehingga mereka hanya menyebut secara ringkas yaitu Mun-Tai. Lama kelamaan peroses sebutan ini menjadi satu yaitu “MUNTAI”. Teori ini lebih kuat jika ditinjau dari paktor historis atau sejarah.

Terubuk

Pada sutu ketika dahulu Pulau Bengkalis terkenal dengan ikan terubuk. Bahkan kota Bengkalis itu sendiri digelar dengan kota terubuk. Di Pesisir Pantai Pulau Bengkalis sebelah luar berhadapan dengan selat Melaka, dan sebelah dalam dengan selat Bengkalis banyak sekali di huni ikan terubuk terutama di Tanjung Jati dan Tanjung Parit di Muntai. Diperkirakan ikan terubuk ini mulai keluar dengan jumlah yang banyak sehingga terkenal di seluruh Pelosok Nusantara bahkan seluruh dunia yaitu pada tahun 1942.

Menurut keterangan orang–orang tua di Muntai, jika mereka turun kelaut untuk menangkap ikan, cukup hanya membawa satu hingga dua utas jaring, maka mereka akan membawa pulang ikan terubuk sepenuh sampan. Begitula rezeki yang Allah limpahkan Kepada Penduduk Pulau Bengkalis. Tapi sayang ketika itu masyarakat tidak menjaga kestabilan ekosistem kehidupan laut itu. Mereka menangkap ikan terubuk bersampan-sampan kemudian ke darat akhirnya dibiarkan begitu saja karena jumlahnya terlalu banyak. Bahkan ada yang bercerita mereka hanya mengambil telurnya saja. Sedangkan isinya mereka buang ke sungai.

Mungkin dengan Fenomena yang dilakukan penduduk ini. Ikan terbuk menjadi pupus atau merasa enggan untuk muncul kembali dalam jumlah yang banyak seperti dulu di pulau ini. Yang jelas Allah telah menarik kembali rezki yang melimpah itu karena Manusia tidak pandai bersyukur atau menyia-nyiakan rezki yang Allah berikan. Hingga tahun 1960 ikan terubuk tidak lagi muncul di Tanjung Parit ataupun di Pulau Bengkalis secara keseluruhan. Jadilah kisah terubuk sebagai suatu kenangan yang masih terpahat dalam sanubari penduduk muntai. Namun kita masih berharap agar terubuk kembali menampakkan wajahnya di pesisir Pulau Bengkalis yang damai ini.

 

 

Sumber Daya Manusia

 

Uraian

Jumlah

Jumlah laki-laki

887 Jiwa

Jumlah perempuan

844 Jiwa

Jumlah total

1731 Jiwa

Jumlah kepala keluarga

570 KK

Kepadatan Penduduk

1,47 per KM

 

Grafik

 

img