- Sekdes Muntai Terharu Saat Apel Ketika Kinerja Pemerintahan Desa Meningkat Baik
- APEL SENIN DAN PELANTIKAN KETUA RT PRIODE 2025/2028
- Kaur Keuangan dan Kasi Kesejahteraan Tuntaskan Pengecekan SPJ Pembangunan di Aula Camat sebagai Prasyarat Pencairan Dana Desa
- Terjebak Musim Angin Barat, Pemancing Laut Muntai Beralih Buru Udang Galah di Sungai
- Tak Hanya Nilai! Kepala SD Negeri 04 Bantan: Guru Wajib Cetak Karakter, Bukan Sekadar Materi
Sejarah Desa Muntai
Oleh: Administrator
SEJARAH DAN PROFIL DESA MUNTAI
KECAMATAN BANTAN KABUPATEN BENGKALIS PROVINSI RIAU
1. Sejarah
Desa Muntai merupakan salah satu desa tua yang memiliki sejarah panjang di wilayah pesisir Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Berdasarkan cerita turun-temurun dari para tetua adat dan catatan lisan masyarakat, awal mula berdirinya Desa Muntai diperkirakan sekitar tahun 1645 Masehi.
Pada masa itu, wilayah ini masih berupa hutan bakau dan semak belukar di tepi pantai Selat Melaka. Seorang tokoh bernama Ayah Encik Mas, bersama para pengikutnya dari daerah sekitar pesisir Sumatera Timur, membuka perkampungan baru di kawasan yang sekarang dikenal sebagai Tanjung Parit Muntai. Tokoh ini kemudian diangkat sebagai Datok pertama atau Penghulu awal di kampung tersebut.
Nama “Muntai” sendiri menurut cerita rakyat berasal dari kata “Montai” atau “Muntah Air”, yang menggambarkan kondisi wilayah pesisir yang selalu dilimpahi air pasang surut dari laut. Ada juga versi lain yang menyebutkan bahwa “Muntai” berasal dari bahasa Melayu lama yang berarti “tanah yang timbul di tepi laut”.
Pada masa pemerintahan tradisional Melayu, Desa Muntai termasuk dalam wilayah Kerajaan Siak Sri Indrapura. Pemerintahan kampung dijalankan oleh Datok Penghulu yang memimpin kehidupan sosial, adat, dan pemerintahan masyarakat. Sistem kepemimpinan ini berlangsung turun-temurun hingga masa pemerintahan kolonial Belanda, dan kemudian disesuaikan setelah Indonesia merdeka.
Dalam perkembangannya, Desa Muntai mengalami pemekaran wilayah dan perubahan administrasi yang dahulunya Kampong Muntai menjadi Kampong Bantan Air dan pemekaran menjadi Desa Muntai berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Riau Nomor:kpts.200/IV/1984 tentang Pengesahan Desa Persiapan menjadi Desa Penuh/Definitif dalam Provinsi Daerah Tingkat I Riau, yang ditandatangani oleh H. Imam Munandar sebagai Gubernur Daerah Tingkat I Riau, pada tanggal 30 April 1984 di Pekanbaru. Setelah Indonesia merdeka, status pemerintahan kampung berubah menjadi Desa Muntai sesuai dengan sistem pemerintahan desa nasional.
Kini, Desa Muntai terus berkembang dengan masyarakat yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan, petani, dan pedagang. Meski modernisasi terus berjalan, nilai-nilai adat Melayu, gotong royong, dan keagamaan masih sangat kuat di tengah kehidupan masyarakat Desa Muntai.
Asal Usul Nama “Muntai”
Terdapat tiga versi asal-usul nama Muntai:
Versi pertama: berasal dari kata “Suntai”, sejenis pohon yang banyak tumbuh di daerah ini. Buahnya dapat diolah menjadi minyak suntai.
Versi kedua: berasal dari nama seorang Tok Batin orang asli bernama Muntai.
Versi ketiga (paling kuat): berasal dari nama seorang bidan terkenal bernama Maimun (Bidan Mun), yang menikah dengan Tok Batin Atai. Karena banyak orang datang untuk berobat dan bersalin, daerah itu disebut tempat “Bidan Mun Atai”, yang lama kelamaan disebut Mun-Tai dan akhirnya menjadi Muntai.
Kisah Ikan Terubuk
Pulau Bengkalis, termasuk Muntai, dahulu dikenal sebagai Kota Terubuk, karena banyaknya ikan terubuk yang hidup di perairan sekitar Tanjung Jati dan Tanjung Parit. Sekitar tahun 1942, ikan terubuk sangat melimpah hingga menjadi sumber ekonomi utama. Namun karena eksploitasi berlebihan, populasinya menurun drastis pada tahun 1960-an.
Kini, ikan terubuk hanya menjadi kenangan dan simbol kejayaan masa lalu bagi masyarakat Muntai, namun harapan tetap ada agar ikan ini kembali menghuni pesisir Pulau Bengkalis.
2. Letak Geografis dan Gambaran Umum
Desa Muntai terletak di bagian Timur Pulau Bengkalis, Provinsi Riau, Indonesia. Desa ini berhadapan langsung dengan Selat Malaka, yang sejak dahulu dikenal sebagai jalur pelayaran internasional penting. Muntai merupakan sebuah desa atau kampung yang aman dan permai, dengan pemandangan laut dan daratan yang indah serta masyarakat yang ramah dan religius.
Secara historis, Pulau Bengkalis juga dikenal dengan sebutan Tanjung Jati, dan pada peta kuno, wilayah Tanjung Parit di Muntai lebih dikenal dibandingkan nama Muntai itu sendiri. Posisi Muntai yang strategis di pangkal Pulau Bengkalis menjadikannya salah satu tempat persinggahan penting bagi para pelaut dan pengembara masa silam, terutama karena berhadapan langsung dengan Semenanjung Malaysia.
Pulau Bengkalis, tempat Desa Muntai berada, menjadi salah satu dari 111 Pulau Kecil Terluar (PPKT) Indonesia yang berfungsi strategis dalam menjaga kedaulatan negara, pertahanan, keamanan, dan ekonomi maritim nasional.
Desa Muntai berada di pesisir utara ke timur Pulau Bengkalis yang merupakan salah satu pulau terluar Indonesia sesuai dengan Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2017.
Desa ini berhadapan langsung dengan Selat Melaka dan berbatasan laut dengan Negara Malaysia, sehingga memiliki peran penting sebagai garda terdepan NKRI di wilayah barat Indonesia.
Dan titik pilar batas Negara dengan Pilar Titik Referensi (PTR) 186A yang berada di Tanjung Parit Desa Muntai Kec. Bantan Kab. Bengkalis Prov. Riau yang sekarang sudah berpindah di Distrik Navigasi Tanjung Parit Desa Muntai.
3. Nilai Historis dan Peninggalan Masa Silam
Menurut penuturan masyarakat setempat dan catatan sejarah lisan, Desa Muntai pernah menjadi tempat persinggahan dan penyimpanan senjata para pejuang Indonesia yang diselundupkan dari Singapura pada masa penjajahan Belanda dan Jepang. Hal ini menunjukkan bahwa Muntai memiliki nilai strategis dan menyimpan banyak misteri sejarah yang belum sepenuhnya terungkap.
Prasasti dan Tugu Peninggalan
Di kawasan Tanjung Parit Muntai pernah ditemukan dua buah tugu peninggalan Belanda dan Jepang. Keberadaan tugu-tugu ini baru diketahui sekitar tahun 1971, ketika sebuah helikopter mendarat di Tanjung Parit. Selain itu, menurut cerita rakyat, di daerah ini dahulu juga terdapat Prasasti Talang Mamak, yang kini telah hanyut akibat erosi laut.
Peninggalan-peninggalan ini menjadi bukti bahwa Muntai memiliki khazanah sejarah dan arkeologi yang besar. Bahkan tokoh masyarakat Haji Ibrahim bin Haji Abu Bakar (wafat 1969) pernah berpesan, “Bahwa Muntai pada masa akan datang akan menjadi Mutiara.”
4. Kedatangan Pembesar dari Malaka
Pada masa silam, Muntai merupakan bandar pelabuhan penting di Pulau Bengkalis. Pelabuhan ini sering disinggahi oleh pedagang asing dari Malaka dan daerah lainnya, yang datang untuk mengambil hasil bumi seperti rempah-rempah dan buah suntai.
Sekitar tahun 1616, datang seorang pembesar dari Malaka, ayah dari Encik Mas, yang kemudian menetap di Muntai. Melihat ramainya aktivitas perdagangan di pelabuhan Muntai, beliau mengusulkan pembentukan struktur pemerintahan kampung dan diangkat sebagai Datuk Bandar Muntai dengan persetujuan empat Batin setempat: Batin Penebal, Batin Alam, Batin Sunggoro, dan Batin Senderak.
5. Kedatangan Orang Melayu Johor
Gelombang kedatangan orang Melayu Muar, Johor, ke Muntai terjadi sekitar tahun 1924–1927. Tokoh-tokoh perintis di antaranya adalah:
- Syam bin Haji Kasan
- Adam bin Abdullah
- Haji Joran bin Haji Kosen
- Haji Ibrahim bin Haji Abu Bakar (1926)
- Maon dan Rahim bin Maon (1927)
- serta tokoh lainnya seperti Haji Mokhtar Jiman dan Haji Umar
Awalnya, rombongan Haji Ibrahim berencana menuju Puak Dumai, namun karena angin dan gelombang, mereka terdampar di Muntai. Melihat tanahnya yang subur dan penduduknya yang ramai, mereka akhirnya menetap di sana.
Haji Ibrahim kemudian membuka perkebunan getah (karet) yang menjadi cikal bakal perekonomian masyarakat Muntai, diikuti dengan penanaman pohon pinang dan kelapa.
6. Kehidupan Ekonomi
Sebelum kedatangan orang Melayu Johor, penduduk Muntai hidup sebagai nelayan dan mengolah hasil hutan, terutama buah Suntai. Buah ini kemudian diolah menjadi minyak suntai untuk dijual dan dipakai sendiri. Sejak tahun 1930-an, kegiatan pertanian dan perkebunan mulai berkembang pesat dengan tanaman utama: Getah (karet), Kelapa, Pinang.
Hingga kini, sektor perkebunan dan perikanan masih menjadi sumber penghidupan utama masyarakat Desa Muntai.
7. Hubungan Sosial dan Kehidupan Beragama
Masyarakat Muntai terdiri dari orang Melayu Riau, Melayu Johor, dan suku asli (Talang Mamak). Hubungan sosial di antara ketiga kelompok ini berjalan harmonis dan saling menghormati tanpa catatan konflik.
Pada tahun 1928, atas inisiatif Haji Ibrahim bin Haji Abu Bakar, Lebay Maon, dan tokoh-tokoh lainnya, didirikanlah surau pertama di tepi Sungai Muntai, yang kemudian pada tahun 1948 ditingkatkan menjadi Masjid. Sejak saat itu, penyebaran agama Islam berkembang pesat di Muntai, bahkan beberapa orang asli memeluk Islam.
8. Pemerintahan Muntai
Pemerintahan Masa Ketua Kampong (1645-1800)
- Ayah Encik Emas (1645)
- Encik Mas Ayu (1717)
Pemerintahan Masa Penghulu (±1885–1984)
- Abu (1885–1910)
- Din bin Abu (1910–1930)
- Mat Bujang (1930–1938)
- Kamsar (1938–1959)
- Nasroen bin Haji Umar (1959–1984)
Pemerintahan Masa Kepala Desa (1984–Sekarang)
- Nasroen bin Haji Umar (1984–1989)
- Sabari bin Haji Mokhtar Jiman (1990–2005)
- Naim bin Hasan (2005–2006)
- Junaidi bin Zakaria (2006–2017)
- Jayusni, SE,Sy (Pj. Kades 2017-2018)
- Muhammad Nurin bin H. Katmin (2018–sekarang)
Tabel Datok/Ketua/Penghulu/Kepala Desa Pada Masanya
|
NO |
NAMA |
NAMA JABATAN |
PERIODE |
KAMPONG/DESA |
KETERANGAN |
|
1 |
AYAH ENCIK MAS |
DATOK |
1645 |
TANJUNG PARIT MUNTAI |
Pada Masanya Bathin-bathin/kepala suku yang menunjuknya |
|
2 |
ENCIK MAS |
DATOK |
1717 |
TANJUNG PARIT MUNTAI |
Pada masanya bathin-bathin /kepala suku yang menunjuknya |
|
3 |
ABU |
KETUA KAMPONG |
1885-1910 |
MUNTAI |
Pada masanya ditunjuk oleh Bathin |
|
4 |
DIN BIN ABU |
KETUA KAMPONG |
1910-1930 |
MUNTAI |
Pada masanya ditunjuk oleh Ketua Kampong |
|
5 |
MAT BUJANG |
KETUA KAMPONG |
1930-1938 |
MUNTAI |
Pada masanya ditunjuk oleh Ketua Kampong |
|
6 |
KAMSAR |
PENGHULU |
1938-1959 |
BANTAN AIR |
Pada masanya ditunjuk oleh Ketua-ketua Kampong (Bantan Air dan Muntai menjadi satu kampong) |
|
7 |
NASROEN BIN H. UMAR |
PENGHULU/KADES |
1959-1989 |
BANTAN AIR / MUNTAI |
Pada masanya ditunjuk melalui musyawarah tokoh-tokoh masyarakat. (Pemekaran Muntai dan Bantan Air Tahun 1984 menjadi Desa Definitif) |
|
8 |
SABARI BIN H. MOKHTAR JIMAN |
KADES |
1990-2005 |
MUNTAI |
Pada masanya dipilih oleh masyarakat melalui PILKADES |
|
9 |
NAIM BIN HASAN |
KADES |
2005-2006 |
MUNTAI |
Pada masanya direkomendasi oleh Kades sebelumnya |
|
10 |
JUNAIDI BIN ZAKARIA |
KADES |
2006-2017 |
MUNTAI |
Pada masanya dipilih oleh masyarakat melalui PILKADES |
|
11 |
JAYUSNI, SE,Sy |
Pj. KADES |
2017-2018 |
MUNTAI |
Pada masanya ditunjuk oleh Bupati sebagai Penjabat Kades |
|
12 |
MUHAMMAD NURIN |
KADES |
2018-2026 |
MUNTAI |
Pada masanya dipilih oleh masyarakat melalui PILKADES |
9. Jumlah Penduduk Tahun 2024
|
Uraian |
Jumlah |
|
Jumlah laki-laki |
1034 Jiwa |
|
Jumlah perempuan |
958 Jiwa |
|
Jumlah total |
1992 Jiwa |
|
Jumlah kepala keluarga |
660 KK |
|
Kepadatan Penduduk |
1,47 per KM |
10. Penutup
Desa Muntai bukan hanya sekadar kampung pesisir, tetapi pusaka sejarah Melayu Riau yang menyimpan banyak kisah perjuangan, persaudaraan, dan kebijaksanaan lokal. Dari pelabuhan tua hingga ladang getah, dari surau kecil hingga masjid megah, semuanya menjadi saksi perjalanan panjang Muntai menuju masa depan yang gemilang — “Muntai, Mutiara di Timur Bengkalis.”




